Pendidikan dan Lapangan Pekerjaan : Hak Kita yang Terus Dirampas
“What does science mean it? It means to be useful to the people. My dear nephews and nieces, you will be future scientists, not to be big men living above and far from the people, but to work for the people” (Ho Chi Minh, ketika menerima gelar “Doctoral Honoris Causa” dari Universitas Padjadjaran, Bandung, 1955) Sebelumnya, saya mewakili segenap pimpinan dan anggota FMN menyambut baik acara yang diselenggarakan oleh Asian Student Association (ASA)–YOU ACT on Education and Employment—sebagai sebuah upaya bersama untuk memecahkan problem-problem konkret pemuda dan mahasiswa terkait dengan hak-hak demokratisnya tentang pendididkan dan lapangan pekerjaan. Dengan mengurai berbagai problem pendidikan dan lapangan pekerjaan di berbagai negeri, kita diharapkan mampu menyimpulkan apa problem utama yang dihadapi oleh segenap pemuda dan mahasiswa di seluruh dunia sekaligus akar dari segala persoalan tersebut. Dari situlah, kita akan merumuskan langkah-langkah apa yang harus dilakukan untuk memperjuangkan hak-hak pemuda dan mahasiswa di berbagai negeri dan di tingkat internasional. Kami juga meminta maaf karena tidak bisa menghadiri acara ini secara langsung. First of all I represent all of leaders and members of Front Mahasiswa Nasional (FMN) appreciate very well the event – YOU ACT on Education and Employment– that is held by Asian Student Association (ASA) as an effort to solving the concrete problems of youth and student of both democratic rights on education and employment. Exploring many problems on education and employment in all over country we hope that we can summarize what are the main problem of youth and student in the world and also the root of the problems. Based on that, we will formulate steps to struggle the rights of youth and student in every country and world. Privatisasi pendidikan telah menjadi trend umum yang berkembang di Indonesia saat ini. Hal ini telah mengakibatkan subsidi negara untuk pendidikan minim, kampus-kampus negeri di swastanisasi, biaya pendidikan yang semakin mahal hingga, kebebasan akademik dan kebebasan berorganisasi yang dibatasi. Privatisasi pendidikan di Indonesia telah mengakibatkan pendidikan tinggi semakin sulit di akses oleh kalangan rakyat miskin, pendidikan berubah menjadi komoditi bisnis, sementara tradisi ilmiah dan kebebasan akademik tidak mendapatkan tempat di kampus. Untuk mengetahui itu semua, kami menyajikan beberapa persoalan di bawah ini :
At the present time, education privatization has become the general trend in Indonesia. This matter cause the government subsidy for education minim, privatization of state university, increase of education payment, and limited of academic freedom and form an organization or joint one. Education privatization in Indonesia has cause the university become hard to access by the poor people, education has change become business commodity, meanwhile scientific tradition and academic freedom never happen in campuses. To know all of that, we present several problems bellows:
Subsidi dicabut, akses pendidikan semakin sempit
Berdasarkan sensus Penduduk Indonesia tahun 2004, jumlah penduduk Indonesia sekitar 238.452.952 juta jiwa yang tersebar di 30 propinsi. Angka ini menempati penduduk terbesar ke empat di dunia. Luas daratan Indonesia mencapai
1.919.440 km² (daratan terluas ke 15 di dunia). Tahun 2003, Pendapatan total dari GDP Indonesia mencapai 758.1 miliar dollar AS dengan pendapat rata-rata per kapita 3200 dollar AS. Sebagaian besar rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan. Menurut pemerintah, penduduk miskin di Indonesia saat ini berjumlah sekitar 37,17 juta jiwa (16,58 %) dari total jumlah penduduk Indonesia. Rata-rata, penduduk Indonesia berpenghasilan 2 dollar AS per hari, bahkan kurang dari 1 Dollar AS per hari. Selain kemiskinan, hak rakyat Indonesia untuk mendapatkan akses pendidikan juga semakin terbatas. Di tahun 2002, hanya 10% penduduk usia perguruan tinggi di Indonesia yang belajar di perguruan tinggi. Tahun 2003, mayoritas jumlah mahasiswa baru terbanyak (sekitar 77%) adalah mereka yang orangtuanya berpenghasilan sekitar Rp 1,5 juta perbulan. Dan 20%-nya adalah mahasiswa yang orangtuanya berpenghasilan Rp 2 juta ke atas. Di tahun 2004, masyarakat yang bisa mengakses bangku Perguruan Tinggi (PT), hanya 3% berasal dari keluarga miskin. Sementara sisanya berasal dari keluarga kelas menengah-keatas. Tabel 1.Persentase Penduduk berdasarkan Pendidikan (Ijazah/STTB) tahun 2004
SMU Umum
SMU Kejuruan
Diploma I dan II
Diploma III dan Akademi
Universitas/Diploma IV
S2-S3
Jumlah
13,07
4,06
0,64
0,94
1,92
0,08
20,71
Sebagai salah satu instrument yang penting dalam pembangunan karakter bangsa, pendidikan sepatutnya mendapatkan perhatian penting, terutama dalam pembiayaan penyelenggaraan pendidikan. Tetapi di Indonesia, pemerintah menerapkan kebijakan pendidikan mahal. Saat ini, masuk TK dan SDN dipungut biaya Rp 500.000-Rp 1.000.000, bahkan banyak yang di atas Rp 1 juta. Sementara untuk SLTP-SLTA, bisa mencapai Rp 1 juta-Rp 5 juta (tergantung sekolah). Perbedaan biaya antara sekolah negeri dan swasta pun beda tipis. Sementara untuk biaya kuliah, bisa menelan biaya jutaan hingga ratusan juta. Untuk masuk Universitas Indonesia (UI) misalnya, harus mengeluarkan biaya berkisar Rp 5-25 juta. Pertanyaanya, akan seorang buruh di Jakarta dengan upah Rp 972.000 per bulan atau buruh tani di pedesaan yang hanya menerima upah Rp 15.000-20.000 akan mampu menguliahkan anaknya dengan biaya yang sedemikian besar tersebut? Akses pendidikan masyarakat yang semakin terbatas, tidak terlepas dari kebijakan pemerintah memangkas subsidi untuk pendidikan. Dalam konstitusi Indonesia (UUD 1945), dinyatakan bahwa anggaran pendidikan harus dialokasikan 20 persen dari APBN dan APBD. Tetapi, anggaran pendidikan dari negara tidak pernah mencapai angka 20 persen. Tahun 2007, pemerintah hanya mengalokasikan 12,3 % atau Rp 98,4 triliun untuk sektor pendidikan dari total belanja negara sebesar Rp 800 triliun. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan pembayaran utang yang mencapai 30-40 persen dari APBN. Pemerintah bahkan berani mengeluarkan dana Rp 650 triliun untuk proses restrukturisasi dan rekapitalisasi perbankan.
Alokasi Anggaran Pendidikan APBN 2005-2008
Tahun Dalam Jumlah Dalam %
2005 Rp. 26,5 Triliun 7
2006 Rp. 36,7 Triliun 9,1
2007 Rp. 51, 3 Triliun 10,3
2008 Rp 98,4 Triliun 12, 8
Mahalnya biaya pendidikan semakin diperparah dengan kebijakan privatiasi perguruan tinggi negeri (public university) oleh pemerintah. Sejak tahun 2000, pemerintah telah memberlakukan privatisasi terhadap beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) terkemuka di Indonesia. Beberapa perguruan tinggi tersebut adalah Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Sumatra Utara (USU), Universitas Airlangga (Unair) dan Universitas Diponegoro (Undip). Kampus-kampus ini dahulunya terkenal sebagai “kampus rakyat” karena memberikan akses bagi rakyat miskin untuk berkuliah dengan biaya yang terjangkau. Kini, di kampus-kampus tersebut terjadi peningkatan biaya kuliah yang sangat signifikan. Proses privatisasi PTN dikenal juga dengan “Otonomi Kampus”. Dimana kampus diberi kewenangan sendiri untuk mengelola pembiayaan dan negara tidak lagi mengucurkan subsidi. Tetapi, yang terjadi justru beban pembiayaan terbesar berada di pundak mahasiswa. Kampus bahkan mengeluarkan kebijakan seperti “jalur khusus” atau Ujian Masuk (UM) untuk menyerap dana dari calon mahasiswa di luar jalur regular sistem penerimaan mahasiswa baru (SPMB). Belum lagi pembukaan terhadap jurusan-jurusan baru, jenjang pendidikan instan D1 dan D2 yang semakin marak hingga pembukaan kelas jauh dan kelas ekstensi yang intinya bertujuan menambah pundi-pundi kekayaan birokrat kampus.
JUMLAH KEBUTUHAN ANGGARAN
UI
IPB
ITB
2006
Rp 722.059.793.015
Turun 6,34%
Rp 305.773.644.000
Naik 4,36 %
Rp 359.311.000.000
Naik 7,39 %
2005
Rp 767.854.643.312
Naik 23,71 %
Rp 292.987.971.000
Naik 9,92 %
Rp 334.579.000.000
Naik 8,13 %
2004
Rp 620.686.187.000
Naik 49,52 %
Rp 266.544.923.000
Naik 31.39 %
Rp 309.409.000.000
Naik 5,88 %
2003
Rp 415.106.750.000
-
Rp 202.860.802.479
-
Rp 292.222.006.985
Naik 7,64 %
2002
-
-
-
-
Rp 271.461.276.563
-
Dikumpulkan dari berbagai sumber Di Indonesia terdapat sekitar 2767 Perguruan Tinggi, 82 adalah Perguruan Tinggi Negeri dan sisanya adalah Perguruan Tinggi Swasta. Baik kampus negeri ataupun swasta memiliki beberapa keumuman masalah seperti fasilitas dan kualitas dosen yang rendah. Untuk biaya pendidikan di kampus-kampus swasta—utamanya kampus-kampus swasta besar—biaya kuliah sangat mahal. Di Universitas Trisakti Jakarta, biaya per SKS (sistem kredit semester) sebesar Rp. 1.750.000. Mahasiswa semester 1 dan 2 dengan sistem paket (20 SKS) harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 35 juta per semester. Di Kampus Institut Bisnis dan Informatika (IBI) biaya kuliah per tahun bisa mencapai Rp 30 juta. Sejak otonomi kampus diberlakukan, terjadi kenaikan biaya kuliah di hampir seluruh PTN. Kurikulum Tidak Ilmiah dan Mencerdaskan
Selain soal mahalnya biaya pendidikan, persoalan lain dari pendidikan di Indonesia adalah “kurikulum.” Sejak tahun 1994, telah terjadi 3 kali pergantian kurikulum pendidikan yaitu link and match (1994), Kurikulum Berbasis Kompetensi (2004) dan Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (STP) 2006. Orientasi kurikulum pendidikan di Indonesia adalah melahirkan sarjana-sarjana siap pakai dan murah dalam pasar tenaga kerja. Tidak terlihat upaya pemerintah atau kampus dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi nasional. Ilmu-ilmu yang dipelajari di bangku kuliah sebagian besar merupakan teori-teori di masa abad pertengahan, terutama untuk bidang sosial. Perkembangan ilmu terkini kurang dipelajari. Pengembangan teknologi yang ada masih sebatas merakit sebuah teknologi, belum mencapai tingkat menciptakan teknologi baru. Fokus utama pengembangan keilmuan terkait dengan teknologi komunikasi dan informasi (IT), teknik sipil serta ilmu ekonomi (akuntansi dan manajemen). Sementara beberapa mata kuliah yang kurang menjanjikan untuk pasar tenaga kerja mulai dipangkas seperti filsafat, ilmu agama dan sastra. Ada juga upaya mengembangkan kampus entrepreneurship, tetapi hanya sebatas konsep. Hal ini akibat ketidakmampuan kampus memberdayakan mahasiswa. Konsep ini justru melahirkan praktek bisnis pendidikan yang meluas dari kampus dengan cara menjaring investasi masuk kampus. Kurikulum pendidikan di Indonesia sangat sedikit mengupas kenyataan sosial masyarakat Indonesia. Hal ini mengakibatkan mahasiswa-mahasiswa Indonesia tidak banyak mengetahui tentang realitas bangsa dan rakyat Indonesia. Bukan rahasia umum lagi para “Indonesianist” justru banyak berasal dari luar Indonesia. Sementara akademisi di Indonesia justru lebih banyak menjadi corong propaganda di kampus tentang teori-teori ekonomi, politik dan hukum dari barat yang justru banyak menyesatkan bagi rakyat Indonesia. Bisa disimpulkan bahwa kurikulum pendidikan di Indonesia tidak ilmiah dan mencerdaskan. Perkuliahan di Indonesia sangat jauh dari kupasan atas soal-soal objektif global dan kenyataan rakyat Indonesia, tidak bertujuan mengembangkan pengetahuan dan teknologi nasional dan tidak melahirkan tenaga ahli yang berguna bagi pembangungan bangsa yang kuat dan mandiri.
Pemerintah Indonesia Menelantarkan Pendidikan
Pemerintah Indonesia sesungguhnya tidak mempedulikan nasib generasi penerus bangsa, dengan membiarkan kondisi pendidikan semakin buruk. Beberapa kebijakan dan peraturan hukum yang dibuat pemerintah justru menambah keterpurukan kondisi pendidikan di Indonesia. Mulai dari minimnya alokasi anggaran pendidikan yang tidak sesuai mandat konstitusi sebesar 20 persen, pemberlakuan otonomi kampus, pelaksanaan Ujian Nasional bagi pelajar yang standar keluluasannya sangat memberatkan, pungli atas nama biaya opersional pendidikan, gaji guru yang minim dan sebagainya. Dalam pertemuan di Jenewa, Desember 2004, Indonesia telah melakukan initial request (permintaan pembukaan sektor-sektor jasa di negara lain) dan initial offer (penyerahan sektor-sektor di dalam negeri untuk dibuka atau diperdalam komitmennya bagi pemasok asing) kepada negara-negara anggota WTO lainnya, dimana pendidikan termasuk salah satu di dalamnya. Ada tiga negara yang menjadi eksportir jasa pendidikan yaitu Amerika Serikat (AS), Inggris dan Australia. Negara-negara inilah yang akan paling diuntungkan dalam liberalisasi jasa pendidikan. Tidak mengherankan jika tiga negara tersebut saat ini sangat agresif menuntut sektor jasa pendidikan melalui WTO dengan beberapa model perdagangan jasa pendidikan yang akan digunakan sesuai dengan kerangka GATS yaitu: 1) cross border supply dimana PT asing menawarkan kuliah-kuliah melalui internet dan on-line degree programme, 2) consumption abroard dimana mahasiswa Indonesia belajar di PT luar negeri , 3) commercial presence di mana PT asing membentuk partner, subsidary atau twinning arrangement dengan PT local, 4) Presence of natural persons di mana dosen dari PT asing mengajar di PT lokal. Dalam prakteknya bentuk penerapan dari kerjasam pendidikan dilakukan dengan pertukaran pelajar mahasiswa, pemberian bea siswa, kerjasama penelitian hingga pembukaan klas internasional di kampus-kampus di Indonesia. Namun yang terparah adalah upaya pemerintah meliberalisasi sektor pendidikan dengan menjadikan pendidikan sebagai lembaga bisnis melalui “Badan Hukum Pendidikan” yang undang-undangnya tengah menanti proses pengesahan. Dalam BHP, pemerintah tidak dibebankan untuk mendanai pendidikan melalui subsidi negara. Pemerintah akan mengakui sebuah lembaga pendidikan secara sah jika dia memiliki harta kekayaan awal. Dalam praktek, pengumpulan harta kekayaan awal perguruan tinggi didapatkan dengan membebankan biaya pendidikan kepada mahasiswa. Selain itu, jasa pendidikan asing juga diizinkan beroperasi di dalam negeri. dan harus menyediakan pendanaan sebesar 49 persen dari total kebutuhan. Dalam BHP juga stuktur seperti dewan komisaris yang disebut Majelis Wali Amanat (MWA) yang terdiri dari perwakilan pemerintah, kampus dan pengusaha. Di dalam MWA, yang paling menentukan adalah dewan pendiri yang berhak menentukan kebijakan akademis hingga investasi. Dalam hal investasi, investasi yang ditanam oleh dewan pendiri harus dikembalikan oleh satuan BHP. Sebuah BHP bahkan berhak mengelola lebih dari satu unit BHP. Selain itu, kampus juga berhak mendirikan unit-unit usaha komersil untuk menjaring investasi dan mengkomersilkan aset-aset pendidikan, seperti membuka jasa bank, ritel komersil dan proyek-proyek penelitian. Akibatnya, beberapa aset kampus seperti auditorium, perpustakaan, internet, gelanggang olahraga, tidak bisa diakses secara gratis lagi saat ini. Selain itu, status dosen dan karyawan tidak lagi sebagai pegawai tetap, tetapi akan dikenakan status pegawai kontrak sebagai lazimnya system kerja buruh kontrak. Pilot project dari BHP sudah dijalankan di 8 universitas negeri terkemuka di Indonesia yang berujung dengan satu hal besar yaitu semakin mahalnya biaya kuliah dan kesempatan berkuliah bagi rakyat miskin yang semakin sulit. Sementara di tingkat SD-SMU dikenal dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang telah banyak mnegakibatkan beban operasional pendidikan mulai dari biaya buku, seragam sekolah, study tour dan sebagainya. Jika nanti RUU BHP disahkan, maka pendidikan di Indonesia menuju kehancuran.
Pembiayaan di UI, IPB dan ITB sejak berstatus BHMN (2004-2006)
UI
IPB
ITB
Total Semua
Total Pembiayaan
2.110.600.623.327
855.206.538.000
1.003.299.000.000
3.969.106.161.327
Dana Masyarakat1. Dana Mahasiswa· Reguler/SPP · Non Reguler/Non SPP2. Dana Penilitian
1.353.653.592.823
447.447.811.000
2.182.220.324.215
1.102.921.756.967
275.892.255.000
381.108.920.392
1.377.814.011.967
141.562.866.161
193.064.448.000
113.942.592.625
234.627.314.161
634.215.058.843
82.827.797.000
335.149.164.625
1.052.192.020.468
31.127.238.600
169.826.348.000
107.033.348.392
200.953.586.600
Subsidi/Dana Pemerintah
411.543.569.000
374.421.632.000
264.328.914.983
1.050.304.115.983
Dari data bisa ditarik kesimpulan : 1. Sumber pendanaan utama berasal dari masyarakat2. Dari dana masayarakat tersebut, dana terbesar berasal dari SPP Mahasiswa, terutama dari jalur non regular atau non SPP3. Usaha penggalangan dana dari luar pembiayaan mahasiswa, tidak terlalu memberikan pemasukan berarti bagi kampus4. Subsidi dari pemerintah sangat minim
JUMLAH KEBUTUHAN ANGGARAN
UI
IPB
ITB
2006
Rp 722.059.793.015
Turun 6,34%
Rp 305.773.644.000
Naik 4,36 %
Rp 359.311.000.000
Naik 7,39 %
2005
Rp 767.854.643.312
Naik 23,71 %
Rp 292.987.971.000
Naik 9,92 %
Rp 334.579.000.000
Naik 8,13 %
2004
Rp 620.686.187.000
Naik 49,52 %
Rp 266.544.923.000
Naik 31.39 %
Rp 309.409.000.000
Naik 5,88 %
2003
Rp 415.106.750.000
-
Rp 202.860.802.479
-
Rp 292.222.006.985
Naik 7,64 %
2002
-
-
-
-
Rp 271.461.276.563
-
Catatan : Fakta membuktikan bahwa terjadi kenaikan kebutuhan anggaran tiap tahunnya di kampus BHMN. Untuk lebih mendukung kelancaran itu semua, pemerintah telah memberlakukan Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Bidang Usaha yang terbuka dan tertutup bagi investasi, dimana pendidikan merupakan salah satu bidang usaha jasa yang terbuka untuk investasi asing sebesar 49 persen. Pemerintah juga berencana memberikan insentif pajak bagi investor dengan harapan akan ada cadangan dana pendidikan (education fund). Pemerintah juga mendapatkan bantuan kucuran dana dari Bank Dunia untuk mengembangkan World Class University Ini sesungguhnya semakin menegaskan sikap pemerintah Indonesia untuk tidak lagi membiayai pendidikan
Kebebasan Akademik, Berpendapat dan Berorganisasi Masih Dikekang.
Problem lain yang dihadapi dalam sistem pendidikan di Indonesia adalah tentang kebebasan akademik dan kebebasan berorganisasi yang masih dikekang. Kebebasan akademik sebagai tradisi ilmiah yang harus terus dikembangkan, ternyata masih jauh dari harapan. Dalam peraturan pemerintah No 60/1999 tentang Perguruan Tinggi, kebebasan akademik hanya boleh dikembangkan oleh dosen dan guru besar. Pernah anggota FMN dari HKBP Nomansen University Medan melakukan penelitian tentang psikologi buruh akibat hubungan industrial yang ada, hasil penelitian ditolak dengan alasan akan membuat perusahaan merugi karena akan membangkitkan kesadaran buruh untuk melawan perusahaan. Seringkali ditemukan, mahasiswa-mahasiswa yang kritis di kelas, selalu diancam mendapatkan nilai jelek. Pihak dosen atau guru besar selalu menutup diri untuk perdebatan terbuka untuk hal-hal kritis yang dinilai tidak sesuai dengan teori yang dipelajari. Aliran positifisme ilmu sangat kental di kalangan akademisi di Indonesia yang menyekat ilmu dalam kajian-kajian sempit semata. Kampus juga semakin tertutup dari kajian-kajian ilmiah tentang realitas masyarakat Indonesia. Kajian-kajian tentang nasib buruh, kaum tani atau rakyat Indonesia secara umum secara eksplisit dilarang di kampus. Sementara kebebasan berpendapat dan berorganisasi di kampus masih mendapatkan kekangan. Mayoritas kampus saat ini membuat perjanjian bagi calon mahasiswa dalam brosur penerimaan, bahwa jika dia diterima harus mengikuti segala peraturan kampus, pembayaran dan melarang untuk terlibat dalam demonstrasi. Kampus juga memberlakukan kebijakan pengetatan presensi sebesar 75 persen untuk persyaratan nilai, sehingg membatasi aktifitas mahasiswa di luar kelas. Aksi-aksi kampus yang dilakukan juga sering mendapatkan represi. Pamflet-pamflet kritis di kampus sering disobek. Bahkan ada mahasiswa yang diskorsing dan dikeluarkan drop out akibat mengkritisi kampus, ini pernah dialami oleh 4 anggota FMN di kampus STAIBU Jombang tahun 2004 dan 3 mahasiswa ITS akibat mendemo ITS karena mendukung operasi PT Lapindo Brantas Inc, yang telah mengakibatkan banjir lumpur di Porong Sidoarjo. Kebebasan berorganisasi di kampus juga turut dikekang. Pemerintah hanya mengakui keberadaan organisasi intra kampus yang memang selalu menjadi alat kepentingan pemerintah untuk meredam kesadaran politik mahasiswa. Ormas-ormas mahasiswa yang sering disebut juga organisasi ekstra seperti FMN dilarang kehadirannya di kampus. Untuk ini, pemerintah telah menerapkan SK Dirjen Dikti 26 Tentang Pelarangan organisasi ekstra di kampus. Ketika ormas-ormas ini mengadakan kegiatan di kampus harus mendapatkan izin bahkan membayar untuk menggunakan fasilitas kampus yang ada. Di beberapa kampus FMN bahkan dilarang secara resmi, dengan berbagai alasan. Tetapi sesungguhnya, larangan itu karena FMN konsisten memperjuangkan kepentingan mahasiswa.
Lapangan Pekerjaan Tidak Pasti
Jika di atas telah dibahas tentang situasi umum pendidikan di Indonesia, maka persoalan lain yang sangat terkait dengan pemuda dan mahasiswa adalah tentang lapangan pekerjaan. Lapangan pekerjaan di Indonesia memang telah menjadi problem besar bagi pemuda dan mahasiswa termasuk seluruh rakyat di Indonesia. Dari beberapa catatan, di Indonesia saat ini diperkirakan terdapat sekitar 40 juta pengangguran baik yang sifat terbuka dan setengah terbuka. Dari data BPS, selama tahun 2001–2005, terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi dari 3,44% ke 5.03%. Dalam waktu yang bersamaan, terjadi peningkatan angka pengangguran dari 8.01% ke10,45%. Pada tahun 1997 jumlah pengangguran mencapai 5,4 persen. Di tahun 2004 naik hingga 10,8 persen. Sejak 1997 sampai 2003, angka pengangguran terbuka di Indonesia terus menaik, dari 4,18 juta menjadi 11,35 juta dan didominasi oleh pengangguran usia muda. Di tahun 2003, terdapat penggangguran sebesar 9,5 juta jiwa atau 9,53% yang sama sekali tidak memiliki pekerjaan. Sejumlah 36,7 persen dari penganggur terbuka ini berusia muda antara 15-24 tahun. Penganggur usia muda ini seharusnya adalah generasi muda yang masih duduk di bangku sekolah.Tahun 2005, angka tersebut mencapai 10,5 persen menurut keterangan pemerintah. Pengangguran terbuka bukanlah persoalan final yang mesti dihadapi. Masih ada angka pengangguran setengah terbuka, yakni tenaga kerja yang bekerja kurang dari 35 jam per bulan. Menurut prediksi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) jumlah penganggur setengah terbuka tahun 2004 mencapai 28,93 juta orang atau 27,5 persen dari total angkatan kerja. Jika menghitung pengangguran tertutup atau mereka yang setengah menganggur, angka pengangguran telah mencapai lebih dari 40 juta. Ironisnya, sebagian besar pengangguran menimpa tenaga kerja muda dan perempuan. Sekitar tiga dari sepuluh angkatan kerja berusia 15 hingga 24 tahun adalah penganggur. Kelompok muda penganggur ini mencapai dua pertiga dari total pengangguran yang ada (26,7 juta jiwa). Angka perempuan penganggur lebih besar dibandingkan dengan penganggur laki-laki. Pada tahun 2005, pemerintah menjanjikan akan menyerap 2 juta tenaga kerja bila target pertumbuhan bisa mencapai 5,5 persen. Namun angkatan kerja yang baru setiap tahun tumbuh lebih dari 2,5 juta. Depnaker dalam perhitungan terakhir menyebutkan bahwa jumlah penggangguran terbuka di seluruh Indonesia sekitar 10,25 juta jiwa. Kemungkinan tenaga kerja yang terserap hanya sekitar 1,8 juta jiwa dari 2 juta pekerja. Artinya, logika pertumbuhan ekonomi ala Bretton Woods yangdiagung-agungkan pemerintah ternyata tidak mampu menyerap lulusan perguruan tinggi, karena sekitar 55 persen angakatan kerja adalah lulusan sekolah dasar ke bawah. Jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor industri pada tahun 2003 mencapai 12,34 juta orang dengan konsentrasi 64% di sektor IKM (Siaran Pers Deperin, 19 Juli 2005). Jika mengacu lebih dalam tentang disiplin pekerja secara industrial kapitalis (buruh), angka 36% dari 12,34 juta pekerjan hanya terdapat sekitar 4,4 juta orang. Tentu saja angka ini sangat kecil bila dibandingkan dengan 103,97 juta angkatan kerja keseluruhan, pekerja pertanian yang mencapai 40,61 juta atau 10,25 juta pengangguran. Kenyataan di atas menampakkan persoalan mendapatkan pekerjaan masih menjadi problem utama bagi pemuda dan mahasiswa di Indonesia. Sarjana-sarjana Indonesia sebagaian besar tersedot sebagai pekerja kerah putih (white color workers) yang digaji murah. Mereka juga tidak bekerja sesuai dengan disiplin ilmu di bangku kuliah, sebagai akibat ketidakmampuan kampus melahirkan sarjana-sarjana ahli di bidangnya. Jika pun ada, mereka akan tersedot sebagai tenaga ahli bagi perusahaan-perusahaan milik imperialis. Sehingga lulusan-lulusan pendidikan di Indonesia tidak mampu memberikan konntribusi beranti bagi perubahan nasib rakyat Indonesia. Sebagian dari mahasiswa juga terpaksa bekerja sambil berkuliah, demi mengatasi kekurangan biaya untuk kuliah. Selain itu di Indonesia juga diberlakukan system market labor flexibility dengan penerapan system kerja kontrak dan outsourching. Hal ini mengakibatkan buruh di Indonesia rentan terhadap PHK dan tidak memiliki kepastian kerja. Kebijakan tentang upah yang diberlakukan adalah sistem upah murah. Rata-rata upah buruh di Indonesia tidak mencapai Rp 1 juta per bulan yang sangat jauh dari standar kehidupan layak yang ditentukan ILO sendiri. Sementara kondisi kerja buruh di Indonesia sangat buruk. Tidak ada perlindungan kerja yang baik seperti keselamatan, kerja, kesehatan, transportasi dan sebagainya. Rata-rata buruh di Indonesia hidup di pemukiman-pemukiman kumuh di perkotaan. Hak-hak buruh seperti kebebasan berserikat adalah salah hak yang sampai detik ini masih dikeberi. Pemerintah hanya mengizinkan buruh berserikat dalam organisasi buruh binaan pemerintah. Pangangguran dan buruknya kondisi buruh di Indonesia menunjukkan rapuhnya industri di Indonesia yang berkaraktek industri neokoloni, yaitu industri dengan teknologi rendah (manufaktur) yang hanya sebatas untuk proses perakitan atau pengepakan. Mayoritas sektor yang berkembang adalah jasa dan perdagangan. Hal ini tidak terlepas dari kepentingan imperialisme untuk tidak membangun industri nasional yang kuat di negeri-negeri seperti Indonesia, karena jika itu terjadi maka mereka akan kehilangan kesempatan mendapatkan sumber-sumber kekayaan alam, pasar bagi komoditinya dan eksploitasi terhadap tenaga kerja murah.
Globalisasi Imperialis sebagai Biang Utama
Persoalan yang mengemuka tentang pendidikan dan lapangan pekerjaan, sesungguhnya tidak terlepas dari globalisasi imperialis. Kepentingan imperialisme untuk keluar dari krisis over produksi telah membuat mereka melempar krisis di dalam tubuhnya ke negeri-negeri seperti Indonesia yang masih terbelakang dengan maksud menguasai sumber-sumber kekayaan alam, pasar dan tenaga kerja murah demi mendatangkan super profit bagi segelintir kaum kapitalis monopoli asing. Inilah globalisasi imperialis yang kita maksudkan. Mereka tidak mungkin berniat memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi nasional. Jika itu terjadi, maka akan membuat Indonesia membangun sendiri industri nasional yang kuat dan akan menghancurkan pondasi mereka mendapatkan sumber-sumber kekayaan alam, pasar dan tenaga kerja murah. Untuk itulah mereka merekrut sarjana-sarjana ahli sebagai supervisor untuk perusahan-perusahan milik imperialis dan menjadikan luluasan perguruan tinggi sebagai tenaga kerja murah siap pakai untuk tenaga perakit dan tenaga pelancar bagi jasa keuangan dan perdagangan milik imperialis. Mereka mendorong liberalisasi jasa pendidikan, untuk menjadikan pendidikan sebagai komoditas bisnis yang menggiurkan, agar mereka lebih mudah mendapatkan keuntungan dan merampas hak-hal rakyat miskin untuk mengecap bangku sekolah, sehingga membiarkan kondisi rakyat semakin terbelakang. Mereka tidak butuh tradisi ilmiah, tapi pragmatism untuk mendapatkan tenaga kerja siap pakai yang melimpah ruah dan keuntungan dari bisnis pendidikan. Sehingga ilmu pun menjadi tidak objektif bagi kita. Sehingga mahasiswa-mahasiswa yang kritis dan organisasi-organisasi mahasiswa yang progresif dilarang bersuara dan beraktifitas di kampus. Mereka membiarkan keterpurukan industri nasional sehingga bisa terus, mengeruk sumber-sumber kekayaan alam, mengeksploitasi tenaga kerja murah, mendapatkan keuntungan dari pasar dan membuat negeri seperti Indonesia terus tergantung secara modal dan teknologi kepada mereka. imperialisme dan rejim boneka telah membuat perusahaan-perusahaan kecil dalam negeri bangkrut dan menambah deretan pengangguran, sekaligus membuat hidup kaum buruh di Indonesia semakin menderita. Dengan demikian imperialisme dan rejim Boneka di berbagai negeri, telah merampas hak-hak pemuda dan mahasiswa, tak terkecuali di Indonesia. Imperialisme dan rejim boneka di berbagai negeri telah mengubir mimpi-mimpi indah dan masa depan pemuda dan mahasiswa. Di Indonesia, Rejim SBY-Kalla terus menipu pemuda dan mahasiswa untuk mendapatkan haknya atas pendidikan dan lapangan pekerjaan. Rejim ini terus menggadaikan negerinya bagi kaum imperialis. Rejim ini menjilat kaum imperialis, tetapi menindas rakyatnya sendiri. Untuk itulah kita menyebut rejim ini sebagai boneka amerika.
Perjuangan FMN
Sampai saat ini, FMN terus memperjuangkan aspirasi dari pemuda dan mahasiswa di Indonesia. Untuk saat ini, kami secara nasional tengah memperjuangkan penolakan terhadap RUU BHP, karena jika itu disahkan maka pendidikan di Indonesia akan semakin terjerumus dalam privatisasi dan komersialisasi pendidikan. Menurut rencana, RUU ini akan disahkan akhir tahun ini, tetapi masih terus menjadi perdebatan, karena juga banyak menuai protes dari masyarakat seperti mahasiswa, kalangan yayasan dan rektor yang mengelola kampus kecil, tokoh pendidikan, tokoh-tokoh politik dan ormas-ormas. Kami juga terus menekan pemerintah untuk merealisasikan anggaran pendidikan 20 persen sesuai amanat UUD 1945 (konstitusi RI) karena ini akan sangat membantu dalam mengurangi beban pendidikan yang sedemikian mahal saat ini. Kami juga terus memperjuangkan kebebasan berpendapat dan berorganisasi di kampus, mengingat masih berlakunya SK Dikti No 26 tentang Pelarangan organisasi ekstra kampus serta dikebirinya hak-hak bersuara dan berorganisasi di kampus. Kami hingga saat ini terus mendorong pengobaran perjuangan massa di kampus-kampus sebagai sarana kita untuk terus membangkitkan, menggorganisasikan dan menggerakkan massa dalam menuntut hak-haknya. Dan untuk semua itu, tepat 1 dan 2 Mei 2008 bertepatan dengan perayaan Mayday (1 mei) dan Hari Pendidikan Nasional (2 Mei) FMN akan mengadakan aksi mobilisasi besar-besaran bersama seluruh rakyat Indonesia di berbagai kota untuk memperjuangkan aspirasi klas buruh, persoalan lapangan pekerjaan dan tuntutan-tuntuan pokok kita tentang pendidikan. EpilogDemikianlah, beberapa hal yang bisa kami sampaikan dalam kesempatan kali ini. Besar harapan kami pandangan dari FMN mendapatkan perhatian dari kawan-kawan semua dan memberikan kontribusi bagi jalannya agenda kali ini. Terima kasih. Fight four our right’s, resist Imperialist Globalization! Jakarta, 11 November 2007
Pimpinan Pusat Front Mahasiswa Nasional
Sekretaris Jenderal
Ridwan Lukman