Senin, 07 Januari 2008

Che Guevara : Api yang tak kunjung padam



Tahun berjalan, mode berganti, post-modernisme menggantikan modernisme, kepemimpinan demokratis menggantikan kediktatoran, dan tembok berlin jatuh ke bawah tembok kapital. Tapi tiga puluh tiga tahun kemudian, pesan Che Guevara tetap menjadi suluh bagi mereka yang percaya bahwa dunia yang lebih baik itu mungkin.
Ada sesuatu dalam hidup dari peninggalan dokter Argentina/gerilyawan/revolusioner Cuba yang masih di bicarakan oleh generasi penerus di tahun 1997. Siapa yang dapat menjelaskan menggunungnya jumlah artikel, buku, film, debat tentang che ? Peringatan 30 tahun kematiannya dilakukan dengan berbagai macam acara, Siapa yang tertarik pada 30 tahun kematian Joseph Stalin ?
Seperti Jose Marti, Emiliano Zapata, Augusto Sandino, Farabundo Marti, Camilo Tores, Che adalah salah satu pejuang yang tewas disaat pertempuran, saat senjata masih dalam genggaman, dan seorang yang menjadi, selamanya, benih yang di taburkan di tanah Amerika Latin, menjadi malaikat dalam surga harapan dan keinginan, menjadi bara yang menyala dibawah abu ketidakpuasan dan keresahan.
Di dalam setiap kebangkitan gerakan revolusioner di Amerika Latin selama 30 tahun ini, mulai dari Argentina sampai Chili, dari Nicaragua sampai El Savador, dari Guatemala sampai Mexico dan Chiapas, selalu ada jejak dari “Guevarismo”, kadang jelas, kadang tidak. Tidak hanya dalam pandangan kolektif mereka yang berjuang saja, tapi juga dalam perdebatan mereka tentang metode, strategi, dan di setiap bibit-bibit perlawanan.
Bibit-bibit Guevarismo telah di semaikan selama 30 tahun terakhir, di tanah yang dipupuk oleh budaya politik kaum kiri Amerika Latin. Sekarang bibit itu telah menjadi ranting, daun-daun, dan buah. Jejak-jejak Che adalah satu benang merah dari mereka yang ada di Pantagonia sampai Rio Grand, yang menenun mimpi-mimpinya.
Apakah ide-ide Che ketinggalan jaman ? Apakah mungkin mentransformasikan atau merubah Amerika Latin tanpa Revolusi ? Ini adalah teori dari beberapa teoritikus kiri Amerika Latin ( yang menyebut dirinya ”realis”) berdasarkan pengalaman selama beberapa tahun terakhir, yang dimulai oleh jurnalis dan penulis berbakat, Jorge Castaneda dalam bukunya yang terkenal yang berjudul Melucuti Utopia (1993)
Hanya beberapa bulan setelah peluncuran bukunya, negeri Castaneda, Mexico, terlihat uprising yang spektakular yang terjadi pada penduduk asli, Chiapas, di bawah sebuah kepemimpinan sebuah organisasi utopis bersenjata, EZLN, yang prinsip-prinsip pengorganisirannya berasal dari tradisi Guevarist. Benar, sangat kontras dengan grup gerilyawan tradisional, Zapatista atau EZLN, mengatakan bahwa kebutuhan obyektif mereka bukan mengambil alih


kekuasaan, tapi menyediakan inspirasi dan support untuk suatu organisasi dari Mexican civil society, dengan tujuan utama perubahan besar dalam sistem politik dan sosial negeri.
Namun, tanpa uprising di Januari 1994, Tentara Pembebasan Nasional Zapatista (EZLN)-masih bersenjata dalam empat tahun kemudian-tidak akan menjadi poin referensi dari neo-liberalisme, tidak hanya di Meksiko tapi juga di Amerika Latin dan seluruh penjuru dunia. Zapatismo adalah campuran dari beberapa tradisi subversif, tapi guevarismo adalah bumbu kunci di rebusan masakan dalam kebudayaan revolusioner yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Dalam sebuah artikel di Newsweek, Castaneda mulai bertanya apakah benar-benar mungkin untuk menggunakan metode non-revolusioner untuk merebut kekuasaan dan kemakmuran dari tangan elit politik yang berkuasa dan orang-orang kaya, dan merubah sturktur sosial yang sudah mengakar di Amerika Latin. Jika bukti ini sangat susah untuk di temukan di akhir abad ke-21 ini, dia berkata nantinya dunia akan menyadari bahwa, “ Bagaimanpun, Che Guevara memiliki sebuah poin”1[2]
Politisi adalah Personal
Che bukan hanya seorang pejuang yang heroik, tapi juga seorang pemikir revolusioner, dengan sebuah proyek politis dan moral dan sebuah sistem dan nilai yang kerena itu dia perjuangkan dan dia berikan hidupnya. Filosofi yang memberi dia pilihan ideologi dan politik yang koheren, berwarna, bercita rasa, adalah sebuah humanisme revolusioner yang sangat dalam. Untuk Che, Komunis sejati, revolusioner sejati adalah seseorang yang merasa bahwa problem terbesar umat manusia adalah problem dia juga, seseorang yang mampu merasakan kesedihan ketika ada orang lain yang terbunuh, nggak peduli dia berada di belahan dunia yang mana, dan merasakan kegembiraan ketika bendera kebebasan berkibar di manapun.2[3]
Internasionalisme-nya Che-sebuah jalan hidup, sebuah kepercayaan sekuler, sebuah kategori imperatif, dan sebuah semangat nasionalitas-adalah sesuatu ekspresi yang hidup dan nyata dari humanisme marxis revolusioner ini.
Che selalu mengutip perkataan Jose Marti bahwa “setiap manusia seharusnya merasakan sakit diwajahnya ketika ada orang lain yang mukanya di tampar”. Perjuangan untuk martabat ini adalah salah satu prinsip etis yang menimbulkan inspirasi untuk semua tindakannya, mulai dari pertempuran Santa Clara sampai perlawanan terakhir di pegunungan Bolivia. Apa yang disebut Che, “bendera dari martabat manusia” masih menjadi term yang penting dalam kebudayaan Amerika Latin. Itu semua pertamakali berasal bersumber dari Don Quixote, sebuah karya yang dibaca Che di Sierra Maestra, yang di gumanakan sebagai “literatur kelas” yang memberi dia rekruitmen gerilyawan petani, dan sebuah kepahlawanan yang dengan itu dia identifikasikan melalui sebuah surat kepada orang tuanya.

Nilai ini tidak asing bagi marxisme. Marx sendiri menulis bahwa “proleteriat membutuhkan martabat sebagaimana kebutuhannya atas roti”. ("Communism and the Rhine Observer" - September 1847).
Pertimbangan pemikiran strategis-nya sering terbatasi dengan ide gerilya foco (memperluas nucleus). Tapi ide-ide dia dalam revolusi di Amerika Latin sangat mendalam. Di tahun 1967 dia mengatakan bahwa “Tidak ada perubahan yang bisa di buat : baik itu revolusi soaial maupun revolusi yang bersifat karikatif”. Akibatnya, Che membantu seluruh generasi revolusioner untuk membebaskan dirinya dari penjara “Stagisme” yang berasal dari dogmanya Stalinis. (Pesan untuk Konferensi Tricontinental, 1967).
Tentu, kia dapat menemukan dalam tulisannya-apakah dalam pengalaman di Kuba atau di Amerika Latin-dan terlebih dalam episode tragis di Bolivia, sebuah tendensi unutk meredusi revolusi ke perjuangan bersentaja, perjuangan bersenjata ke perjuangan gerilya di pedesaan, perjuangan gerilya itu sendiri yang dibentuk dalam Foco. Tendensi inilah yang mendominasi secara subasequen tradisi guevarist di Amerika Latin.
Tapi kamu juga bisa menemukan bagian-bagian dalam karyanya yang memberikan nuansa pada konsepsi gerilya-sebagai contoh dalam bagaimana pentingnya kerja politik massa, atau dalam kekurangan dari perjuangan bersenjata di negara yang ber-rezim demokratik.Tidak berarti penolakannya terhadap pembunuhan atau terorisme buta.1[4]
Peninggalan guevarist, yang ada dalam strategi grup revolusioner Amerika Latin di 60-an sampai 80-an., masih bersama kita, sebagai sebuah perasaan revolusioner dan perlawanan yang membaja dalam rangka unutk mencapai bagian yang penting dari ideology kiri, dari gerakan sosialis seperti Gerakan Buruh Tani di Brazil, unutk menyebut dirinya sendiri sebagai sosialis.
Sosialisme di Ameriak, tulis Jose Carlos Mariategui di 1929, bukannlah sebuah jiplakan, tapi sebuh kreasi yang heroik. Inilah yang dilakukan oleh Che Guevara, yang menolak menjiplak model-model yang “sudah ada” dan mencari jalan baru unutk sosialisme, secara lebih radikal, lebih egaliter, lebih bersifat persaudaraan, lebih humanis yang cocok dengan etika komunis sejati.

Tidak ada komentar: