Senin, 07 April 2008

Menguak tragedi WTC, Pentagon, dan Kantor DEPLU AS


CERITA sang SUPER-POWER
Being an extra [figurant] in virtual reality is no longer being an actor or a spectator. It is to be out of the scene [hors-scene], to be obscene.
Jean Baudrilliard, DisneyWorld Company, 1996


Amerika memang menjadi negara yang seolah menguasai semua. Tulisan ini mungkin hanya sedikit analisis di balik cerita yang beredar akhir-akhir ini: pesawat yang dibajak dengan menggunakan pisau menabrakkan dirinya pada gedung World Trade Center (WTC) dan gedung DepHanKam USA Pentagon, serta bom yang meledak di DepLu USA.
Terorisme dan Amerika (?)
Sebelumnya ada baiknya kita tinjau track record kebijakan politik di negeri Paman Sam ini. Dari segi pertahanan keamanan, Pentagon memiliki citacita ingin mewujudkan busur Turki-Tokyo mengingat Rusia bukanlah musuh yang signfikan lagi baginya - sebagai basis pertahanan yang tentunya akan memudahkan jalannya arus perdagangan dan penetrasi pasar AS terhadap Asia dan Afrika. Di sisi lain, semenjak hancurnya negara komunis, praktis AS tidak memiliki lagi lawan tanding ideologis yang sepadan. Tentu saja ini berpengaruh terhadap semangat nasionalisme Amerika Serikat dan lebih jauh dapat memberikan pengaruh terhadap perekonomiannya serta pengakaran pemerintahan kepada rakyat Amerika. Hal yang tentu saja mengganggu kebijakan luar negeri AS adalah islam yang dalam paradigma AS seringkali diidentikkan dengan praktik terorisme. Berbagai kasus pembajakan pesawat, pengeboman basement WTC (1993) dan sebagainya yang dilakukan oleh berbagai pihak (teroris) yang identik dengan negara berideologi Islam. Pengeboman Irak beberapa waktu yang lalu hanya beberapa hari setelah pelantikan Presiden George W. Bush tentu memberikan kesan akan kebencian besar pemerintahan ini terhadap Negara tersebut, termasuk pengangkatan elite militer yang terlibat dalam Perang Teluk (Gulf War) pada tahun 1990 semasa pemerintahan George Bush (Sr.). Partai Republik memang memiliki “cerita bersenjata” terhadap hubungan AS dengan Timur Tengah – berbeda dengan Partai Demokrat yang lebih cenderung menggunakan teknik intelijen (CIA) dalam intervensinya dengan negeri luar AS.
Dalam kasus jatuhnya pesawat ini, ada beberapa kecurigaan yang dapat saja dialamatkan terhadap pemerintahan AS. Kehancuran gedung WTC, rusaknya sebagian gedung Pentagon, dan ledakan di DepLu AS sama sekali tidak membunuh tokoh-tokoh penting AS dalam hal kebijakan ekonomi maupun militer. Momen waktu yang dipilih adalah sewaktu Presiden AS, MenLu, dan MenHanKam AS sedang tidak berada di tempat. Kecanggihan teknologi Pentagon yang konon juga mengatasi kemungkinan gangguan keamanan (national security) dari angkasa luar itupun sangat tidak masuk akal jika sampai kebobolan pesawat penumpang biasa yang tak memiliki teknologi anti-radar untuk jatuh di Pentagon. Lebih dalam lagi, pesawat yang dibajak tersebut bukanlah pesawat jet dengan kecepatan tinggi. Arah terbang pesawat dan laporan kepada FBI (sebelum insiden) bahwa pesawat telah dibajak seharusnya dapat mengantisipasi tragedi ini mengingat kemajuan teknologi informatika yang dimiliki oleh struktur kekuasaaan AS tersebut. Kondisi bahwa pembajak hanya menggunakan pisau (bukan senjata api) pun pada dasarnya memberikan pertanyaan lain. Pers yang ada pada akhirnya memberikan opini bahwa vektor dalang kejahatan terorisme ini adalah Osama bin Laden, tokoh kontroversial yang konon merupakan dalang rencana penyerangan terhadap kantor PBB di New York tahun 1995 yang lalu. Banyak kemungkinan skenario memang yang ada di negeri Uncle Sam ini. Namun hal yang menjadi tanda Tanya besar adalah bahwa kasus konflik AS dengan “negeri teroris” ini pada dasarnya lebih cenderung kasus politik dan militer, berbeda dengan berbagai aksi anti globalisasi yang memang lebih mengarah kepada isu ekonomi dan pemerataan strata ekonomi masyarakat dunia; namun yang dihancurkan adalah pusat ekonomi AS, WTC, yang sebenarnya mengaburkan bahwa kasus ini adalah aksi terorisme yang memiliki pusat kontrol di Timur Tengah. Dalam hal ini tentu lebih masuk akal jika yang ditabrak adalah gedung PBB atau Gedung Putih sebagai pimary target.
Amerika dan Kita
Mungkin tak salah jika kita perluas terminologi filsuf Jonathan Bentham, dengan mangatakan bahwa jika dunia saat ini adalah panoptikon, maka kita adalah manusia-manusia robotik yang sedang dianalisis opininya, dan diatur skenario kehidupannya oleh sang dokter sekaligus polisi dunia: Amerika. Tangan-tangannya di sektor militer dan intelijen memang sudah tak bisa diragukan lagi kemampuannya. Mengurusi berbagai pergolakan sosial politik dan ekonomi berbagai negara, intervensi yang mendapat pembenaran di mana-mana, merupakan rahasia umum, bahwa kita memang berada di bawah bayang-bayang AS. Bahkan Megawati Soekarnoputri yang jelasjelas, ayah kandungnya, dikerjain oleh CIA masih merasa perlu sowan kepada pemerintahan AS tersebut dan merasa tak repot untuk memberikan ungkapan belasungkawa sedalam-dalamnya dengan menyebut Presiden AS sebagai “Yang Mulia” segala.
Apakah kita dijajah oleh AS? Tidak gampang menjawab pertanyaan ini, karena memang kita “butuh” AS untuk hidup – atau mungkin lebih tepat jika disebut diskenariokan butuh AS, butuh IMF, dan seterusnya. Kita diskenariokan untuk mati jika AS tidak memberikan “bantuan” kepada kita. Tak bisa dipungkiri bahwa pemimpin negara-negara dunia ketiga memang impoten berhadapan dengan negeri adikuasa ini. Kita berada dalam panoptikon besar bernama dunia dengan drama berjudul
globalisasi, dengan AS sebagai sutradaranya.
Noam Chomsky, dalam bukunya, What Uncle Sam Wants (1993), mengemukakan dengan jelas motifmotif ekonomi pemerintahan AS untuk menguasai system perekonomian dunia. Bagaimana ia menjadikan Islam sebagai musuh dengan mengidentikkannya dengan praktik-praktik terorisme. Sungguh tak adil saat pers yang memang dikuasai oleh negeri Paman Sam ini mengidentikkan Islam sebagai musuh ideologisnya dengan penonjolan praktik-praktik terorisme sementara hubungan dagangnya dengan Saudi Arabia, Turki, bahkan Mesir sangat baik.
Jelas sekali bahwa ini semata bukanlah permasalahan ideologi. Ini adalah masalah kepentingan dan motif ekonomi yang membara di dalam diri sosiologis Amerika Serikat. Jika negara kita mengikuti AS, maka kita akan selamat. Sebaliknya, menentang AS berarti bersiap diri untuk diembargo secara ekonomi, dan distigmakan sebagai teroris yang kejam, pembunuh, dan pelanggar HAM. Berbagai penangkapan di Aceh, kerusuhan yang tak reda di Ambon, dianggap bukan lagi masalah HAM sepanjang pemerintahan RI tidak neko-neko terhadap kebijakan luar negeri AS – dan media/pers mengikuti tren ini, karena memang pers merupakan media propaganda kapitalisme yang menjadi produsen sikap mental dan politik masyarakat luas.
Tak urung kasus WTC. Indikasi yang ada jelas menunjukkan bahwa ada suatu kemungkinan yang sangat besar keterlibatan dinas intelijen dan pemerintahan AS dalam hal ini, karena bukannya mereka tak diuntungkan dengan kasus ini. Katakanlah jika memang AS rugi dengan puluhan ribu korban jiwa dan bangunan fisik yang hancur. Namun keuntungan lain yang didapat dari AS jelas lebih banyak lagi. AS tentu saja akan mendapat legitimasi moral, sebagai polisi dunia, untuk melakukan intervensi terhadap negara-negara yang dianggapnya sebagai sarang terorisme dan tentu saja hingga hari ini menjadi musuh politiknya. Bom, pengiriman massal dinas intelijen, rudal, bahkan mungkin angkatan bersenjata akan mendapat legitimasi moral dari penduduk bumi yang ter representasi dalam PBB untuk membombardir negeri musuh politiknya itu. Lebih jauh lagi, berbagai pihak di dalam negeri AS sendiri yang selama ini lengah oleh karena matinya kompetisi dengan partner lawan ideologinya: Uni Sovyet, akan naik moral nasionalisme Amerikanya dengan menempatkan Islam sebagai lawan ideologis. Bahkan lebih parah lagi, represifitas pemerintahan AS akan menjadi-jadi menekan aksi-aksi anti globalisasi dan neo-liberalisme saat penduduk bumi dihadapkan dengan ratap tangis terhadap puluhan ribu penduduk yang tewas di dalam insiden WTC, pusat perekonomian itu. Apapun akan dilancarkannya demi mendukung hegemoni kapitalismenya di muka bumi. Dan seperti ungkapan Jean Baudrilliard di atas tadi, kita Cuma jadi pemain figuran yang menyampaikan ungkapan belasungkawa dan kalaupun tidak jadi penonton yang terbuai dengan pemberitaan televisi dan surat kabar – lupa dengan penginjak-injakan HAM dan proses demokratisasi yang ada di depan hidung kita sendiri.
Manipulasi, skenario, hegemoni AS
Kebenaran memang seolah akan jadi mainan pemilik kekuasaan. Kekuasaan secara materil memang terletak pada modal, dan modal pada akhir masa yang catastrophe ini terletak pada informasi. Saat opini umum terbentuk, di sanalah terjadi scenario yang menjadi landasan dramaturgi yang disusun untuk hegemoni AS.
Kita memang patut berbelasungkawa dengan korban jatuhnya pesawat dan hancurnya gedung gedung pusat peradaban manusia milenia itu. Namun mengerikan tatkala jutaan umat Islam menjadi korban character assassinations atas cap-cap terorisme yang ditempelkan pada mereka demi kepentingan ekonomi segelintir pihak.
Dan tetap saja, sejarah tetap berjalan, dengan kuasa sebagai landasan kebenaran dan menentukan nasib manusia yang terpenjara oleh cita-cita kebebasan dan kemerdekaan sebagai seutuhnya manusia.

Tidak ada komentar: