Rancangan Undang - Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) akan segera di sahkan. Seperti biasanya, terjadi kontradiksi (pro dan kontra) di kalangan rakyat atas setiap peraturan yang dikeluarkan oleh negara. Dalam hal ini penulis menempatkan diri dalam posisi yang kontra atau tidak sepakat dengan rencana pemberlakuan RUU BHP. Mengapa ? Berikut ini adalah penjelasannya.
Latar belakang munculnya RUU BHP
RUU BHP ini sebenarnya adalah tindak lanjut dari mandat yang dicantumkan dalam UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), agar seluruh lembaga pendidikan berstatus badan hukum, yang akan diatur dalam undang-undang. Dengan alasan otonomi, akuntabilitas dan efisiensi, negara kemudian melepaskan tanggungjawabnya dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa. Jelas, RUU BHP ini sangat bertentangan dengan pembukaan UUD 1945, yang menyatakan dengan tegas bahwa tugas negara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam penyelenggaraannya, pendidikan tidak lagi ditanggungjawabi oleh pemerintah, tetapi diserahkan kepada rakyat. Pemerintah bersama dengan masyarakat dan industri kemudian membentuk satu institusi pendidikan yang Berbadan Hukum. Berbadan hukum artinya bahwa seluruh aktivitas dan peraturan diatur sesuai dengan peraturan (Undang-undang) yang berlaku.
Selain itu, dalam perundingan WTO di sektor Jasa (atau disebut GATS-General Agreement Trade Service) yang disetujui oleh pemerintah di tahun 2005 lalu, pendidikan dimasukkan ke dalam salah satu sektor industri (bisnis) jasa. Di bawah tekanan asing, pemerintah harus merativikasi kesepakatan GATS tersebut dalam bentuk peraturan perundang-undangan, yang salah satunya, adalah RUU BHP ini yang melengkapi produk perundangan sebelumnya. Dampaknya kemudian, pemerintah di tuntut untuk tidak campur tangan dalam industri jasa ini. Sebagai gantinya, penyelenggaraan pendidikan diserahkan kepada mekanisme pasar, artinya siapa yang memiliki kemampuan finansial adalah yang berhak untuk menyelenggarakan pendidikan. Hal ini terjadi, karena subsidi anggaran untuk pendidikan, terutama untuk pendidikan tinggi telah dicabut. Dampak yang paling dirasakan merugikan rakyat, yaitu semakin mahalnya biaya pendidikan.
Dampak dari dilaksanakannya RUU BHP
RUU ini mengatur tentang pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan, dari tingkat dasar, menengah, hingga tinggi. Untuk pendidikan dasar dan menengah bernama BHPDM-Badan Hukum Pendidikan Dasar Menengah, untuk Pendidikan Tinggi bernama BHPT-Badan Hukum Pendidikan Tinggi. Semua institusi pendidikan tinggi baik itu swasta maupun yang dulunya negeri nantinya harus berstatus badan hukum. Semua institusi pendidikan harus menyusun proposal (yang berisi ad/art, visi-misi, kelayakan dari finansial, fasilitas dan ketersediaan tenaga pendidik, dsb) kepada pemerintah. Apabila pemerintah menyatakan layak, maka institusi pendidikan tersebut dapat menyelenggarakan proses pendidikan.
Dampak yang paling terasa adalah pada institusi pendidikan negeri. Dengan status BHPMN (Badan Hukum Pendidikan Milik Negara), maka kepemilikan dan tanggungjawab tidak lagi dimiliki oleh pemerintah. Pemerintah sekedar menjadi pendiri bersama dengan masyarakat dan industri. Pembiayaan pun tidak lagi berasal dari anggaran negara (APBN atau APBD), tetapi BHPMN dituntut untuk mencari dana secara mandiri untuk membiayai kegiatan operasionalnya. Ada mekanisme bantuan pemerintah dalam bentuk hibah, tetapi itu tidak ditetapkan berapa minimal yang harus di berikan negara. Selain itu juga ada yang namanya pendanaan subsidi silang, dimana siswa/mahasiswa yang kaya dibebankan untuk membiayai siswa/mahasiswa yang miskin. Pertanyaannya, berapa persen jumlah rakyat miskin yang bisa bersekolah atau berkuliah? Lalu bagaimana dengan rakyat yang tidak mampu bersekolah, siapa yang membiayai dia? Jawabannya jelas, yaitu negara. Tetapi, dengan konsep pemerintah hanya sekedar pendiri dan fasilitator dalam pendidikan, maka sangat terlihat pemerintah mencoba lari dari tanggungjawabnya.
Akibat tidak bertanggungjawabnya pemerintah dalam penyelenggaraan, maka institusi pendidikan harus memutar otak untuk pembiayaan. Maka, terjadilah yang namanya komersialisasi pendidikan itu. Banyak jual beli kursi dengan cover D1 dan D3, kelas jauh, kelas khusus, kelas kerjasama, kelas paralel, dsb dengan harga yang gila-gilaan. Tujuannya untuk meraup sebanyak mungkin dana dari calon siswa atau mahasiswa. Menaikkan biaya sekolah atau kuliah merupakan ujung tombak pembiayaan BHPMN, karena usaha lainnya seperti menjual hasil-hasil penelitian kepada perusahaan swasta, menyewakan asset kampus (gedung, sarana olahraga, dsb), memfasilitasi industri perdagangan untuk investasi di kampus, belumlah menunjukkan hasil yang nyata. Maka, tak heran apabila setiap tahunnya biaya pendidikan selalu naik. Selain itu, BHPT dapat melakukan investasi dan memiliki unit usaha layaknya sebuah perusahaan yang mencari keuntungan. Realitas ini, sangat bertentangan dengan konsep penyelenggaraan pendidikan dalam RUU ini yang menyebutkan bahwa BHP adalah institusi yang berprinsip nirlaba.
Dampak peraturan ini tidak hanya pada institusi pendidikan negeri, tetapi juga swasta. Dampak yang paling terasa adalah berkurangnya peminat (calon mahasiswa) terutama untuk kampus swasta yang tidak ‘terkenal’. Karena dia harus tersisihkan oleh kampus negeri yang ‘diswastakan’. Hal ini diperparah dengan dibolehkannya institusi pendidikan asing untuk membuka cabangnya di Indonesia. Pilihannya kalau tidak gulung tikar, ya merger dengan kampus lainnya. Dengan adanya institusi asing, jelas akan menjadi ancaman nyata bagi institusi pendidikan dalam negeri. Tidak terbayang apabila suatu insitusi pendidikan dalam negeri harus tutup akibat tidak mampu untuk bersaing, maka berapa karyawan yang harus kehilangan pekerjaannya, berapa mahasiswa di kampus tersebut yang harus pindah kuliah (mengulang lagi dari awal), dan lain sebagainya. Dan, pemerintah tidak menghitung akibat seperti ini.
Selain itu, BHP ini tidak membawa perubahan bagi terselenggaranya demokratisasi di dalam kampus. Untuk Pendidikan Tinggi, Mahasiswa-sebagai kalangan mayoritas-sama sekali tidak mendapat tempat dalam struktur kampus. Dalam RUU ini disebutkan bahwa struktur kepemimpinan di Perguruan Tinggi adalah Majelis Wali Amanah (MWA), Dewan Audit, Senat Akademik, Pimpinan Perguruan Tinggi, dan unit lain yang dianggap perlu. Tidak ada posisi mahasiswa didalam struktur tersebut. Maka, jangan heran apabila kebijakan-kebijakan kampus lebih banyak merugikan mahasiswa. Salah satu struktur kepemimpinan, yaitu Senat Akademik berfungsi untuk merumuskan tata tertib kehidupan kampus. Dikhawatirkan, senat akademik dapat dengan seenaknya membuat peraturan untuk seperti pelarangan mahasiswa untuk masuk pada organisasi ekstra kampus. Kalau itu terjadi, maka ini tak beda dari kebijakan NKK/BKK di jaman orde baru. Tidak dilibatkannya mahasiswa dalam proses pengambilan kebijakan kampus, menjadi ciri nyata belum demokratisnya sistem kampus tersebut.
Untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah, siswa dan orangtua siswa pun tidak berperan penting dalam proses pengambilan kebijakan. Orangtua siswa dapat berpartisipasi (masuk menjadi anggota) pada Komite Sekolah. Tetapi, Komite Sekolah bukanlah badan struktural yang mengambil kebijakan dalam BHP Dasar-Menengah. Selain taktik sekolah untuk menggalang dana (dalam RUU ini disebut dengan kata "dukungan sumber daya"), Komite Sekolah hanya sekedar difungsikan memberikan masukan kepada kepala sekolah.
Selain dampak merugikan terhadap orangtua siswa atau mahasiswa, BHP juga mempunyai dampak yang merugikan terhadap pegawai administrasi kampus dan tenaga pengajar, terutama kampus negeri. Dengan berstatus BHP, maka tenaga administratif dan tenaga pengajar tidak lagi berstatus pegawai negeri, tetapi menjadi pegawai BHP, yang bekerja berdasarkan peraturan kerja yang ada. Hal ini berarti, mereka bekerja berdasarkan sistem kerja fleksibel dan kerja kontrak, sesuai dengan UU Ketenagakerjaan yang ada di Indonesia. Selain itu proses perubahan menuju institusi yang berbadan hukum pasti akan diikuti dengan usaha rasionalisasi demi efisiensi. Proses ini telah terjadi di beberapa kampus, dan yang pertama terkena dampaknya adalah para pegawai rendahan dan dosen-dosen muda (pemutusan kerja). Nasib mereka akan sama dengan buruh-buruh di pabrik yang tidak memiliki masa depan terhadap masa depan pekerjaannya, yang harus siap kehilangan pekerjaannya setiap saat tanpa adanya tunjangan yang layak.
Rakyat Tidak Membutuhkan RUU BHP
Setumpuk permasalahan yang muncul dari RUU BHP ini, semakin menjelaskan watak Rezim SBY - Kalla yang tidak berpihak pada rakyat. Dalam kondisi tingginya jumlah buta huruf di Indonesia, tingginya angka putus sekolah, dan banyaknya anak-anak muda yang tidak bisa kuliah, rezim bukannya menjamin sekolah gratis dan kuliah murah, namun semakin mendorong terjadinya privatisasi sekolah dan Perguruan Tinggi. Setelah rezim sebelumnya mengeluarkan peraturan yang reaksioner, yaitu PP 60/ 61 tahun 1999, UU Sisdiknas No.20 tahun 2003, dan beberapa PP yang mem-BHMN-an Perguruan Tinggi, rezim SBY-Kalla melanjutkannya dengan mengeluarkan peraturan yang secara substansi adalah sama : komersialisasi dan privatisasi pendidikan. Sudah saatnya kita bersama-sama bersatu untuk dengan lantang mengatakan, "Rakyat tidak butuh RUU BHP, yang dibutuhkan rakyat sekarang adalah kebijakan yang menjamin sekolah gratis dan kuliah murah".
Senin, 07 April 2008
RUU BHP : Upaya Negara Untuk Memprivatisasikan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar